Sabtu, Juli 25, 2009
Welcome to Indonesia, Mr Big...
Rabu, Juli 22, 2009
Zain Bikha atau Michael Jackson???
Selasa, Juli 21, 2009
Haram, No Bargaining!!
Sabtu, Juli 18, 2009
Ibra Ditukar Dengan Eto'o??
Menurut Sport, pertemuan mendadak antara Joan Laporta, Txiki Begiristain, dan Raul Sanllehi dengan Massimo Moratti menghasilkan kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak.
Barcelona akan membayar transfer €40 juta ditambah Samuel Eto'o dan peminjaman Aliaksandr Hleb.
Media asal Katalan itu meyakini, Inter sudah menginformasikan kepada Barca bahwa Ibra bersedia pindah ke Camp Nou. Pada saat yang sama, Barca menghubungi Eto'o, yang juga meluluskan perjanjian pertukaran pemain ini.
Pergerakan ini terjadi setelah Barcelona mundur dari pengejaran David Villa. Seperti diketahui, Valencia selalu berupaya mempertahankan Villa dengan menolak tawaran Barca.
Pertemuan Laporta dengan Moratti terjadi setelah pelatih Pep Guardiola meminta sang presiden untuk segera memastikan transfer Ibra.
Ibra diduga bersedia menerima pemotongan jumlah gaji demi seragam Barca, serta dipastikan tak melampaui bayaran Lionel Messi, sedangkan Eto'o meminta €13 juta untuk kontrak berdurasi lima tahun sebagai syarat bergabung ke Giuseppe Meazza.
Foto Kepala Yang Diduga Pelaku Bom Beredar
Selain gambar potongan tubuh, gambar potongan kepala yang diduga pelaku bom bunuh diri juga beredar luas.
Gambar potongan kepala dan tubuh ini beredar luas dari ponsel ke ponsel. Namun hingga tengah malam, belum ada keterangan resmi dari kepolisian mengenai potongan kepala dan tubuh yang disebut sebagai pelaku pemboman ini.
Sebelumnya juga beredar gambar potongan tubuh pelaku bom bunuh diri di JW Marriot yang didapat dari sumber yang enggan disebutkan namanya.
Sementara itu dalam keterangan pers tadi malam, Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri menyebutkan salah satu pelaku kondisi kepala dan wajahnya masih sangat jelas. Sedangkan satu pelaku yang meledakkan diri di Hotel Ritz Carlton guratan wajahnya juga masih bisa diidentifikasi meski kondisi kepalanya terpisah dari tubuh.
"Pelaku merupakan dua orang yang melakukan bom bunuh diri di dua hotel yang berbeda," kata Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri dalam jumpa pers di lokasi ledakan, Kuningan, Jakarta, Jumat (17/7/2009).
Untuk mengusutnya, polisi akan melakukan penelusuran dengan memanfaatkan sketsa wajah dari pelaku. "Jika nanti ada yang tidak jelas, akan diperjelas dengan menggunakan teknologi. Dan ini masih bisa diidentifikasi dengan teknologi milik Polri," tegasnya.
Polisi juga telah menemukan titik perang mengenai pelaku bom bunuh diri. Seorang pria terlihat mencurigakan dalam kamera CCTV. Pasalnya, dalam rekaman tersebut pelaku menggunakan topi berwarna cerah, jas berwarna hitam, tas jinijing berwarna hitam, dan koper berwana hitam.
Jumat, Juli 17, 2009
Belajarlah Dari Laut..
Laut juga mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Bagaimana mengisi, memaknai dan bersikap ketika berhubungan dengan orang lain. Hal-hal yang jika dipelajari dan diamalkan sungguh-sungguh akan membuat kehidupan ini menjadi lebih indah. Diantaranya adalah:
• Mengayomi
Banyak hewan yang hidup, berkembang biak dan mencari makan di laut. Mulai dari hewan paling lunak sampai paling keras. Paling lemah hingga paling kuat. Semua dibiarkan bebas menjadi dirinya sendiri.
• Tidak pilih-pilih
Selain mengayomi, laut juga bukan tipe pemilih. Bukan hanya yang paling kuat dan paling keras yang boleh hidup dan berkembang biak, tapi semua diberi kesempatan yang sama dalam semangat kebersamaan.
• Sabar menanggung segala sesuatu
Laut adalah tempat bermuaranya segala aliran air. Mulai dari air yang banyak mengandung sampah, kotoran, air yang tercemar hingga air yang bersih. Semua diterima dengan tangan terbuka dan tanpa keluhan.
• Suka memberi
Meski sering mendapatkan hal yang kurang (tidak) baik, laut tetap mau memberi kebaikan. Memberi ikan yang berlimpah untuk burung-burung di udara. Mata pencaharian untuk para nelayan. Juga tempat rekreasi untuk banyak orang.
• Tidak suka menonjolkan diri
Laut berasa asin. Asin identik dengan garam. Garam adalah elemen paling utama dalam masakan. Tanpa garam masakan akan terasa hambar dan tidak enak dimakan. Meski demikian, garam tidak ingin menonjolkan diri. Ia rela melebur dan menjadi satu dalam rasa masakan.
We Are Not Different, No Excuses.....
karena asalku dari suku yang lain
Katamu, agamaku tidak lebih baik dari agamamu
Katamu, kepercayaanku adalah sesat
karena tidak sesuai dengan kepercayaanmu
Katamu, aku hanya menjadi warga kelas dua karena kulitku hitam
Katamu, aku hanya bisa mengotori pandangan
karena pakaianku yang kumal, badanku yang tidak terawat
dan rumahku yang hanya beratap langit dan berdinding kardus
Katamu, aku harus disingkirkan hanya karena aku berbeda darimu
Bukankah, taman akan menjadi lebih indah
karena ada beraneka tanaman yang tumbuh di dalamnya?
Bukankah, kita manusia, disebut sempurna
jika memiliki rambut, telinga, hidung, mata, mulut, tangan dan kaki?
Bukankah, kita diciptakan dari bahan dan sumber yang sama?
Jadi, mengapa kita mesti saling memerangi?
Mengapa kita saling meninggikan hati?
Mengapa kita mengatakan yang lain buruk dan jahat?
Mengapa kita tidak memberi hak kepada yang lain
untuk hidup dan berkembang?
Kita adalah sama
berasal
dan akan kembali pada tempat yang sama
Ada Masalah? Utarakanlah....
Suamiku berbadan tinggi besar, dan aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang, ada suatu perasaan nyaman dan aman disana. Aku seperti sebuah boneka kecil yg kapan saja bisa diangkat dan dimasukan kedalam kantongnya. Kalau terjadi selisih paham diantara kami, dia suka tiba-tiba mengangkatku tinggi-tinggi diatas kepalanya dan diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan baru sampai aku berteriak ketakutan baru diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu.
Kebiasaan ibu di kampung tidak berubah. Aku suka sekali menghias rumah dengan bunga segar, sampai akhirnya ibu tidak tahan lagi dan berkata kepada suamiku: "Istri kamu hidup foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan?" Aku menjelaskannya kepada nenek: "Ibu, rumah dengan bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira." Ibu berlalu sambil ngedumel, suamiku berkata sambil tertawa: "Bu, ini kebiasaan orang kota, lambat laun Ibu akan terbiasa juga." Ibu tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil membawa bunga, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga bunga itu, setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil menggeleng-gelengkan kepala. Setiap membawa pulang barang belanjaan, dia selalu tanya itu berapa harganya, ini berapa. Dan setiap aku jawab, dia selalu berdecak dengan suara keras. Suamiku memencet hidungku sambil berkata: "Putriku, kan kamu bisa berbohong. Jangan katakan harga yang sebenarnya." Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku mulai terusik.
Ibu sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi menyiapkan sarapan pagi untuknya sendiri, di mata ibu, seorang anak laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan. Di meja makan, wajah ibu selalu cemberut dan aku sengaja seperti tidak mengetahuinya. Ibu selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes. Aku adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat badanku sangat letih, aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun pagi apalagi disaat musim dingin. Ibu kadang juga suka membantuku di dapur, tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot; misalnya, dia suka menyimpan semua kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan karena bisa untuk dijual katanya. Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan kantong plastik, dimana-mana terlihat kantong plastik besar tempat semua kumpulan kantong plastik.
Kebiasaan ibu mencuci piring bekas makan tidak menggunakan cairan pencuci juga menggangguku. Agar dia tidak tersinggung, aku selalu mencucinya sekali lagi pada saat dia sudah tidur. Suatu hari, ibu mendapati aku sedang mencuci piring malam harinya, dia segera masuk ke kamar sambil membanting pintu dan menangis. Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti orang bisu, aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi dia tidak perduli. Aku menjadi kecewa dan marah. "Apa salahku?" Dia melotot sambil berkata: "Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah makan dengan piring itu bisa membuatmu mati?"
Aku dan ibu tidak bertegur sapa untuk waktu yang cukup lama, suasana menjadi kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak pada siapa? Ibu tidak lagi membiarkan suamiku masuk ke dapur, setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya, suatu kebahagiaan terpancar di wajahnya jika melihat suamiku makan dengan lahap, dengan sinar mata yang seakan mencemohku sewaktu melihat padaku, seakan berkata dimana tanggung jawabmu sebagai seorang istri? Demi menjaga suasana pagi hari tidak terganggu, aku selalu membeli makanan diluar pada saat berangkat kerja. Saat tidur, suami berkata: "Lu Di, apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu tidak pernah makan di rumah?" sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan air mata yang mengalir di kedua belah pipiku. Dan dia akhirnya berkata: "Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi." Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yang serba canggung itu.
Pagi itu ibu memasak bubur, kami sedang makan dan tiba-tiba ada suatu perasaan mual yang amat sangat menimpaku, seakan-akan isi perut mau keluar semua. Aku menahannya sambil berlari ke kamar mandi, sampai disana aku segera mengeluarkan semua isi perut. Setelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri didepan pintu kamar mandi dan memandangku dengan sinar mata yg tajam, di luar sana terdengar suara tangisan ibu dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata. Sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian! Pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat dengan suamiku, nenek melihat kami dengan mata merah dan berjalan menjauh. Suamiku segera mengejarnya keluar rumah.
Menyambut anggota keluarga baru, ternyata harus dibayar dengan nyawa ibu mertuaku! Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga meneleponku. Aku sangat kecewa, semenjak kedatangan ibu di rumah ini, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi? Entah kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan nafsu makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku yang kacau, sungguh sangat menyebalkan. Akhirnya teman sekerjaku berkata: "Lu Di, sebaiknya kamu periksa ke dokter." Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil. Aku baru sadar mengapa aku mual-mual pagi itu. Sebuah berita gembira yang terselip juga kesedihan. Mengapa suamiku, dan terutama ibu sebagai orang yang berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?
Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku, setelah 3 hari tidak bertemu, dia berubah drastis, mukanya kusut kurang tidur. Aku ingin segera berlalu tetapi rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya. Dia melihat ke arahku tetapi seakan akan tidak mengenaliku lagi, pandangan matanya penuh dengan kebencian dan itu melukaiku. Aku berkata pada diriku sendiri, jangan lagi melihatnya dan segera memanggil taksi. Padahal aku ingin memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki seorang anak. Dan berharap aku akan diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku minta ampun tetapi..... mimpiku tidak menjadi kenyataan. Didalam taksi air mataku mengalir dengan deras. Mengapa kesalah pahaman ini berakibat sangat buruk?
Sampai di rumah aku berbaring di ranjang memikirkan peristiwa tadi, memikirkan sinar matanya yang penuh dengan kebencian, aku menangis dengan sedihnya. Tengah malam, aku mendengar suara orang membuka laci, aku menyalakan lampu dan melihat dia dengan wajah berlinang air mata sedang mengambil uang dan buku tabungannya. Aku nenatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata. Dia seperti tidak melihatku saja dan segera berlalu. Sepertinya dia sudah memutuskan untuk meninggalkan aku. Sungguh lelaki yang sangat picik, dalam saat begini dia masih bisa membedakan antara cinta dengan uang. Aku tersenyum sambil menitikkan air mata.
Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin secepatnya membereskan masalah ini, aku akan membicarakan semua masalah ini dan pergi mencarinya di kantornya. Di kantornya aku bertemu dengan seketarisnya yang melihatku dengan wajah bingung. "Ibunya pak direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di rumah sakit.” Mulutku terbuka lebar. Aku segera menuju rumah sakit dan saat menemukannya, ibu sudah meninggal. Suamiku tidak pernah menatapku, wajahnya kaku. Aku memandang jasad ibu yang terbujur kaku. Sambil menangis aku menjerit dalam hati: "Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?" Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak pernah bertegur sapa denganku, jika memandangku selalu dengan pandangan penuh dengan kebencian.
Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang lain, pagi itu ibu berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali ke kampung. Suamiku mengejar sambil berlari, ibu juga berlari makin cepat sampai tidak melihat sebuah bus yang datang ke arahnya dengan kencang. Aku baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh dengan kebencian. Jika aku tidak muntah pagi itu, jika kami tidak bertengkar, jika........ ....di matanya, akulah penyebab kematian ibu.
Suamiku pindah ke kamar ibu, setiap malam pulang kerja dengan badan penuh dengan bau asap rokok dan alkohol. Aku merasa bersalah tetapi juga merasa harga diriku terinjak-injak. Aku ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan salahku dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera mempunyai anak. Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak pernah menjelaskan masalah ini. Aku rela dipukul atau dimaki-maki olehnya walaupun ini bukan salahku. Waktu berlalu dengan sangat lambat.Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain. Dia pulang makin larut malam. Suasana tegang didalam rumah.
Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah café, melalui keremangan lampu dan kisi-kisi jendela, aku melihat suamiku dengan seorang wanita di dalam. Dia sedang menyibak rambut sang gadis dengan mesra. Aku tertegun dan mengerti apa yg telah terjadi. Aku masuk ke dalam dan berdiri di depan mereka sambil menatap tajam kearahnya. Aku tidak menangis juga tidak berkata apapun karena aku juga tidak tahu harus berkata apa. Sang gadis melihatku dan ke arah suamiku dan segera hendak berlalu. Tetapi dicegah oleh suamiku dan menatap kembali ke arahku dengan sinar mata yang tidak kalah tajam dariku. Suara detak jantungku terasa sangat keras, setiap detak suara seperti suara menuju kematian.
Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka, jika tidak.. mungkin aku akan jatuh bersama bayiku di hadapan mereka. Malam itu dia tidak pulang ke rumah. Seakan menjelaskan padaku apa yang telah terjadi. Sepeninggal ibu, rajutan cinta kasih kami juga sepertinya telah berakhir. Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu pulang ke rumah, aku mendapati lemari seperti bekas dibongkar. Aku tahu dia kembali mengambil barang-barang keperluannya. Aku tidak ingin menelepon dia walaupun kadang terbersit suatu keinginan untuk menjelaskan semua ini. Tetapi itu tidak terjadi......, semua berlalu begitu saja.
Aku mulai hidup seorang diri, pergi check kandungan seorang diri. Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check kandungan bersama, hati ini serasa hancur. Teman-teman menyarankan agar aku membuang saja bayi ini, tetapi aku seperti orang yg sedang histeris mempertahankan miliknya. Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek bahwa aku tidak bersalah.
Suatu hari pulang kerja, aku melihat dia duduk didepan ruang tamu. Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas diatas meja, tanpa perlu bertanya aku juga tahu surat apa itu. 2 bulan hidup sendiri, aku sudah bisa mengontrol emosi. Sambil membuka mantel dan topi aku berkata kepadanya: "Tunggu sebentar, aku akan segera menanda tanganinya". Dia melihatku dengan pandangan awut-awutan, demikian juga aku. Aku berkata pada diri sendiri, jangan menangis, jangan menangis. Mata ini terasa sakit sekali tetapi aku terus bertahan agar air mata ini tidak keluar.
Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan ternyata dia memperhatikan perutku yang agak membuncit. Sambil duduk di kursi, aku menanda tangani surat itu dan menyodorkan kepadanya. " Lu Di, kamu hamil?" Semenjak ibu meninggal, itulah pertama kali dia berbicara kepadaku. Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yang menglir keluar dengan derasnya. Aku menjawab: "Iya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah boleh pergi". Dia tidak pergi, dalam keremangan ruangan kami saling berpandangan. Perlahan-lahan dia membungkukkan badannya ke tanganku, air matanya terasa menembus lengan bajuku. Tetapi di lubuk hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal yang sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali. Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata: "Maafkan aku, maafkan aku". Aku pernah berpikir untuk memaafkannya tetapi tidak bisa. Tatapan matanya di cafe itu tidak akan pernah aku lupakan. Cinta di antara kami telah ada sebuah luka yang menganga. Semua ini adalah sebuah akibat kesengajaan darinya.
Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah berlalu tidak akan pernah kembali. Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku bisa bertahan untuk terus hidup. Terhadapnya, hatiku dingin bagaikan es, tidak pernah menyentuh semua makanan pembelian dia, tidak menerima semua hadiah pemberiannya tidak juga berbicara lagi dengannya. Sejak menanda tangani surat itu, semua cintaku padanya sudah berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.
Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku, aku segera berlalu ke ruang tamu, dia terpaksa kembali ke kamar ibu. Malam hari, terdengar suara orang mengerang dari kamar nenek tetapi aku tidak perduli. Itu adalah permainan dia dari dulu. Jika aku tidak perduli padanya, dia akan berpura-pura sakit sampai aku menghampirinya dan bertanya apa yang sakit. Dia lalu akan memelukku sambil tertawa terbahak-bahak. Dia lupa........ , itu adalah dulu, saat cintaku masih membara, sekarang apa lagi yang aku miliki?
Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang mengerang sampai anakku lahir. Hampir setiap hari dia selalu membeli barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku bacaan untuk anak-anak. Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh sesak dengan barang-barang. Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku tetapi aku tidak bergeming. Terpaksa dia mengurung diri dalam kamar, malam hari dari kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard komputer. Mungkin dia lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di dunia maya pikirku. Bagiku itu bukan lagi suatu masalah.
Suatu malam di musim semi, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit dan aku berteriak dengan suara yg keras. Dia segera berlari masuk ke kamar, sepertinya dia tidak pernah tidur. Saat inilah yang ditunggu-tunggu olehnya. Aku digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah sakit. Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan erat tanganku, menghapus keringat dingin yang mengalir di dahiku. Sampai di rumah sakit, aku segera digendongnya menuju ruang bersalin. Di punggungnya yg kurus kering, aku terbaring dengan hangat dalam dekapannya. Sepanjang hidupku, siapa lagi yang mencintaiku sedemikian rupa jika bukan dia?
Sampai di pintu ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh kasih sayang saat aku didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit aku masih sempat tersenyum padanya. Keluar dari ruang bersalin, dia memandang aku dan anakku dengan wajah penuh dengan air mata sambil tersenyum bahagia. Aku memegang tangannya, dia membalas memandangku dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu terjerambab ke lantai. Aku berteriak histeris memanggil namanya.
Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya. Aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air matapun untuknya, tetapi kenyataannya tidak demikian, aku tidak pernah merasakan sesakit saat ini. Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan sebuah mukjijat. Aku tanya kapankah kanker itu terdeteksi? 5 bulan yang lalu kata dokter, bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk. Aku tidak lagi perduli dengan nasehat perawat, aku segera pulang ke rumah dan ke bekas kamar ibu lalu menyalakan komputer.
Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar apa adanya, aku masih berpikir dia sedang bersandiwara. Sebuah surat yg sangat panjang ada di dalam komputer yang ditujukan kepada anak kami. "Anakku, demi dirimu aku terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah harapanku. Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk kebahagiaan dan kekecewaan, sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu tetapi ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Di dalam komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap segala kemungkinan hidup yang akan kamu hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan saran ayah. "Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup selama bertahun-tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia sungguh menderita, dia adalah orang yang paling mencintaimu dan dia adalah orang yang paling ayah cintai".
Mulai dari kejadian yg mungkin akan terjadi sejak TK, SD, SMP, SMA sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap didalamnya. Dia juga menulis sebuah surat untukku. "Kasihku, dapat menikahimu adalah hal yang paling membahagiakan yang aku rasakan dalam hidup ini. Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya. Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau telah memaafkan aku. Terima kasih atas cintamu padaku selama ini. Hadiah-hadiah ini aku tidak punya kesempatan untuk memberikannya pada anak kita. Pada bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian padanya".
Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku menggendong anak kami dan membaringkannya di atas dadanya sambil berkata: "Sayang, bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya". Dengan susah payah dia membuka matanya, tersenyum... ......... ...Anak itu tetap dalam dekapannya, dengan tangannya yang mungil memegangi tangan ayahnya yang kurus dan lemah. Entah berapa kali sudah aku mengabadikan momen itu dengan kamera di tangan sambil berurai air mata........ ......... ....
Teman-teman, jika saat ini air mata anda sedang jatuh mengalir atau paling tidak anda terharu, ingatlah pesan dari cerita ini : Jika ada sesuatu yang mengganjal di hati di antara kalian yang saling mengasihi, sebaiknya utarakanlah, jangan menyimpannya terus di dalam hati dan menundanya. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi esok? Ada sebuah pertanyaan: Jika anda tahu esok adalah hari kiamat, apakah anda akan menyesali semua hal yang telah anda perbuat? Atau apa yang telah anda ucapkan? Sebelum segalanya menjadi terlambat, pikirlah matang-matang semua yang akan anda lakukan sebelum anda menyesalinya seumur hidup...
HE is Watching Us...
Pada suatu hari si kecil Johnny dan kakaknya, Sally, mengunjungi kakek dan nenek mereka yang tinggal di sebuah pertanian di tepi hutan. Kakeknya memberi Johnny mainan katapel. Tapi karena, seperti layaknya anak kota, ia tak pernah menggunakan katapel, maka pergilah Johnny ke hutan untuk melatih keahlian menembaknya dengan katapel. Berkali-kali mencoba hingga sore, ia selalu gagal menembak sasaran dengan tepat. Kesal, Johnny memutuskan untuk pulang menunggu waktu makan malam.
Ketika berjalan menuju pertanian itulah, tiba-tiba terlihatlah oleh Johnny seekor itik peliharaan neneknya sedang berlarian di belakang rumah. Tanpa berpikir panjang, Johnny langsung membidikkan katapelnya. Mujur bagi Johnny, karena kali ini ia tepat mengenai sasaran, namun malang bagi si itik karena bidikan si Johnny tepat mengenai kepalanya, maka matilah ia. Melihat si itik tergolek diam di tanah, Johnny langsung shock. Sebagian karena menyesal, sebagian lagi karena ketakutan.
Saat Johnny, di tengah kepanikannya, sedang menyembunyikan mayat si itik di sebuah tumpukan kayu, ia menangkap pandangan mata seseorang. Sally ternyata melihat perbuatannya, namun tak mengatakan sepatah kata pun.
Keesokan harinya setelah makan siang, nenek memanggil Sally, “Sally, kemarilah Nak! Ayo bantu Nenek mencuci piring!”. Tetapi Sally dengan ringan menjawab, “Nek, Johnny bilang padaku kalau ia ingin membantu Nenek di dapur.” Lalu sambil berbisik, Sally berkata pada Johnny, “Ingat itik itu..?”. Maka siang itu Johnny-lah yang membantu mencuci piring.
Sore harinya, Kakek ingin memancing di sungai, maka ia bertanya pada cucu-cucunya, “Anak-anak, siapa yang mau ikut Kakek memancing ikaan..?” Sebelum ada yang sempat menjawab, justru Nenek yang menyahut duluan, “Wah maaf, tapi aku butuh Sally untuk membantuku menyiapkan makan malam.” Sally tersenyum manis sambil berkata, “Nggak masalah Nek, Johnny sudah bilang padaku bahwa ia akan membantu Nenek.” Lalu Johnny mendengar kakaknya berbisik lagi, “Ingat itik itu..?” Maka sore itu Sally pergi memancing bersama Kakek, dan tinggallah Johnny di rumah membantu Nenek memotong-motong sayuran.
Setelah beberapa hari sibuk melakukan semua pekerjaan, baik yang jadi tanggung jawabnya sendiri maupun yang sebenarnya bagian Sally, Johnny akhirnya tidak tahan lagi. Maka ia mendatangi Nenek, dan mengaku bahwa ia telah membunuh si itik malang. Maka berlututlah Nenek dan memeluk Johnny dengan penuh kasih. “Cucuku sayang, Nenek tahu semuanya. Pada waktu itu Nenek sedang berdiri di depan jendela, dan nenek melihat seluruh kejadiannya. Tapi, karena Nenek mencintai kamu, Nenek memaafkanmu. Nenek hanya bertanya-tanya, sampai kapan kamu akan membiarkan Sally memperbudak kamu...”
Kesimpulan:
Apapun yang pernah terjadi di masa lampau, kesalahan apa pun yang pernah anda perbuat, siapa pun yang pernah anda sakiti, ingatlah selalu bahwa pada saat anda melakukannya, Tuhan sedang berdiri di balik jendela, dan Ia melihat semua yang anda lakukan! Ia telah menyaksikan seluruh hidup anda. Namun, karena cintaNya yang begitu besar pada anda, maka Ia memaafkan anda. Ia hanya bertanya-tanya...sampai kapan anda akan membiarkan si jahat memperbudak hidup anda...
Semoga si itik nan imut mengingatkan anda akan kebesaran Tuhan, yang setiap kali anda minta ampun, bukan hanya mengampuni anda, tapi juga melupakan dosa anda!!
Sumber: Buku Fanda