Miris Tragis Mengecewakan
Tiga kata itulah yang pantas menggambarkan performa Indonesia di AFF. Bagaiman tidak, Bambang dkk harus takluk kepada tim yang sama pada beberapa tahun terakhir ini. Padahal, mereka kan bisa belajar dari pengalaman. Sepertinya peribahasa tersebut tak berguna di mata mereka. Ada satu poin penting dalam menyimak pertandingan Indonesia vs Thailand yaitu kurangnya usaha.
Memang, pada babak kedua para pemain Indonesia tampak kelelahan namun pada babak pertama pun tak menghasilkan apa-apa cuma sebuah goal bunuh diri saja. Mana usahanya?? Tapi menurut pengamat bola, Abi Hasantoso, untuk menyelamatkan indonesia hanya diperlukan satu cara yaitu REVOLUSI.
Berikut beberapa pendapatnya yang saya kutip disini.
Revolusi pertama adalah memberi kesempatan kepada para profesional yang memahami bahwa sepakbola adalah olahraga yang sangat disukai rakyat Indonesia dan dapat memberikan kebanggaan sebagai sebuah bangsa. Para pemilik suara, dalam hal ini pengurus daerah dan pengurus klub, yang menjadi perwakilan suara jutaan penggemar fanatik timnas Indonesia benar-benar bisa menentukan pilihan kepada pemimpin dan pengurus sepakbola kita yang profesional. Apakah kita mau melihat sepakbola Indonesia mundur di bawah kepengurusan seperti sekarang ini?
Banyak yang bilang, mundurnya prestasi sepakbola Indonesia lantaran sepakbola kita dipimpin oleh orang-orang yang salah sehingga sepakbola kita berjalan amburadul dan kehilangan arah. Apakah sepakbola kita sudah kehilangan putra-putra terbaiknya untuk memimpin organisasi? Apakah sebagai sebuah bangsa kita tidak malu lantaran membangkang dari ketentuan baku yang sudah ditetapkan organisasi internasional tertinggi?
Revolusi kedua adalah mengembalikan liga utama kita kepada sistem kompetisi Galatama. Hanya klub-klub profesional saja yang layak berkompetisi. Saatnya kita mengelola kompetisi kita sebagai sebuah industri seperti yang terjadi di negara-negara yang sepakbolanya sudah maju. Klub-klub hidup melalui sponsor serta penjualan tiket dan merchandise klub, bukan mengandalkan dan menghambur-hamburkan dana milyaran rupiah dari APBD yang lebih pantas untuk digunakan bagi kesejahteraan masyarakat banyak seperti subsidi di bidang pendidikan dan kesehatan. Liga utama kita cukup terdiri dari 18-20 klub saja, tanpa pembagian wilayah, dan harus ada sistem degradasi dan promosi dari kompetisi di bawahnya.
Seperti diketahui, J-League, liga utamanya Jepang, dulu menjadikan Galatama sebagai salah satu rujukan utama sebelum mereka membuat liga utama. Hasilnya? Pada Minggu (21/12) lalu kita melihat Gamba Osaka meraih posisi ketiga Piala Dunia Antarklub FIFA. Maka, kita wajib mempertanyakan apa arti kata "super" dari Superliga Indonesia yang kita lihat gagal menarik penonton datang ke stadion-stadion?
Revolusi ketiga adalah menegakkan hukum. Pengurus sepakbola kita harus tegas dan berani menerapkan hukuman kepada tim-tim, pengurus klub, dan wasit yang melakukan pelanggaran, apalagi pelanggaran berat. Sebagai rujukan, sebelum ditangani David Stern, kompetisi bola basket Amerika Serikat yang paling bergengsi di dunia, NBA, dulu menjadi tempat para pemain beradu jotos, wasit yang memihak, dan pengaturan skor oleh bandar judi. David Stern yang ahli hukum lalu membenahi NBA dengan cara menegakkan aturan main yang sudah disepakati bersama. Sampai saat ini NBA tidak segan-segan memberikan hukuman bagi pemain, ofisial, pemilik klub, maupun wasit yang melanggar peraturan. Hasilnya, kompetisi NBA kini semakin mendunia, bahkan pernah membuka kompetisi di Jepang dan Cina.
Revolusi keempat adalah membubarkan kelompok suporter. Karena kelompok fans sudah memecah belah kita sebagai sebuah bangsa. Padahal, oleh para pendiri negeri ini, sepakbola dulu dicita-citakan dan dijadikan sebagai alat pemersatu bangsa. Hingga hari ini kita masih sering melihat ulah kelompok suporter yang sering mengamuk ketika timnya kalah. Apalagi secara sengaja sampai membakar stadion dan branding sponsorship. Ini tentu sangat merugikan para sponsor dan sepakbola kita sendiri. Karena ulah kelompok suporter yang lebih banyak negatifnya ini banyak orang-orang yang betul-betul cinta sepakbola enggan datang ke stadion.
Kita bisa membedakan mana yang penonton sepakbola betulan dengan kelompok suporter pada saat timnas Indonesia bertanding. Kelompok suporter datang ke stadion dengan saltum (salah kostum) karena memakai kaos klubnya. Sementara pencinta bola sejati datang dengan kostum kebanggaan Merah-Putih. Kelompok suporter marah bila timnas kalah dengan cara melempar botol berisi air seni dari atas tribun, sementara penonton sepakbola betulan tetap berdiri memberi aplaus.
Revolusi kelima adalah memperhatikan lebih serius pembinaan sepakbola usia dini, terutama untuk U-13, U-15, dan U-17. Kita harus memutar kompetisi usia dini secara berjenjang dan berkesinambungan. Karena di tiga tingkatan itulah kita mulai mendapatkan pemain-pemain berbakat yang bisa dijadikan bibit-bibit pemain di masa depan. Pemain-pemain tersebut tak perlu kita latih di luar negeri. Tapi dengan memberikan program yang terarah dan terukur dalam sebuah pemusatan latihan di Tanah Air.
Revolusi keenam adalah menggunakan jasa pelatih asing untuk menangani timnas kita. Kita masih melihat perlunya pelatih asing sebagai sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk menangani para pemain kita yang suka bertindak aneh-aneh dan malas berlatih keras. Kita masih membutuhkan pelatih asing untuk menumbuhkan fighting spirit dalam permainan sepakbola. Kita perlu pelatih asing untuk meningkatkan kreativitas pemain-pemain kita, terutama saat membongkar pertahanan lawan dan mencetak gol. Kita perlu pelatih asing yang jujur dalam menilai kekuatan sendiri dan tim lawan. Kita perlu pelatih asing untuk kontrak jangka panjang dan kita harus sabar dengan program pelatihan yang disusunnya dan terbebas dari campur tangan pengurus.
Persoalannya, mungkinkah revolusi itu terjadi di bawah kepengurusan sekarang yang selalu membangkang ketentuan yang sudah diberikan FIFA sebagai regulator sepakbola dunia? Kalau tidak mungkin, apa yang akan kita lakukan sebagai pendukung fanatik timnas Indonesia yang sangat peduli dengan raihan prestasi tinggi untuk kebanggaan sebagai bangsa dan kejayaan sepakbola kita? Ayo, berbuatlah sesuatu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar